Monday, December 25, 2017

Menunggu Senja di Dermaga




 (credit pict: https://www.stockvault.net)
 
Sepasang mata menatap sendu matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Kilaunya yang menenangkan menerobos beningnya air sungai. Suasana senja senyaman ini, mungkin akan sangat dirindukan Kavita, pemilik tatapan sendu itu. Entah, perasaan seperti apa yang sedang bergelayut di hatinya. 

Suara langkah kaki yang perlahan mendekatinya, membuyarkan lamunan Kavita. Namun, pandangannya masih tertuju pada langit senja yang semakin indah. Kini, seseorang itu sudah berdiri tepat di belakang Kavita.

“Besok lusa, aku harus pergi,” kalimat inilah yang pertama kali menyapa Kavita senja itu.
Kavita hanya tersenyum pahit mendengar kalimat itu keluar dari bibir Rendra. 

“Kamu sedih?” tanya Rendra yang kini duduk di samping Kavita.

“Iya,” jawab Kavita singkat.

“Kamu ngga bisa ya, basa-basi sedikit. Bilang aja ‘Aku ngga sedih kok. Ini kan buat masa depan kamu. Aku pasti dukung kamu.’ Sekali-kali pakai kalimat yang manis dong,” keluh Rendra.

Kavita hanya tersenyum melihat wajah kesal Rendra. Wajah yang nantinya akan sangat dirindukan Kavita. Kavita ingin menyampaikan banyak hal pada Rendra saat itu. Namun, kenyataan harus berpisah dengan Rendra untuk waktu yang tidak sebentar membuat Kavita mengurungkan niatnya itu. Lusa nanti, Rendra harus berangkat ke London untuk melanjutkan studinya di sana. 

“Aku pasti kangen kamu,” hanya kalimat itu yang bisa merangkum perasaan Kavita saat ini. Sebenarnya, Kavita ingin sekali mengatakan kalau Kavita akan selalu mendukung dan mendoakan Rendra, tapi bibir Kavita terasa kelu untuk menyampaikan semua itu. Kavita tidak mungkin egois melarang Rendra mengejar mimpi-mimpinya. Tapi, Kavita juga tidak bisa membohongi perih hatinya saat harus jauh dari Rendra. Belum juga berpisah dengan Rendra, Kavita sudah mulai merasakan sesaknya rindu. 

“Aku juga. Rasa kangen aku, kadarnya pasti lebih tinggi,” kata Rendra dengan ekpresinya yang begitu adanya. “Pokoknya, kamu harus tunggu aku, sampai nanti waktunya aku pulang ke sini.”

“Kenapa?” tanya Kavita.

“Apa pertanyaan kamu itu harus aku jawab sekarang?” tiba-tiba Rendra mengubah nada bicaranya menjadi lebih serius.

Kavita hanya mengangguk pelan.

“Jawabannya cuma satu, karena... aku sayang kamu,” kalimat Rendra ini, mempertemukan kembali pandangan keduanya. “Rendra, sayang Kavita,” Rendra menegaskan perasaannya pada Kavita.

“Apa?” tanya Kavita sedikit ragu dengan apa yang didengarnya.

“Aku ngga mau mengulangi kalimat tadi. Kamu tahu kan, gimana susahnya ngomong perasaan aku ke kamu tadi. Terus, kamu cuma bilang ‘apa’.”

“Tapi...,” Kavita belum sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Kalau kamu mau aku mengulangi kalimat tadi, berarti kamu harus mau nunggu aku, dua setengah tahun lagi, di senja, dan di dermaga ini.”

Kavita pun tersenyum manis mendengar janji Rendra itu, “Aku pasti nunggu kamu.”

Begitulah, senja di dermaga itu menjadi saksi janji Rendra pada Kavita. Kavita dan Rendra sudah berahabat sejak mereka kecil, dan kini mereka harus berpisah “sebentar”. Entah sejak kapan perasaan yang bernama cinta itu mulai tumbuh di hati keduanya. Yang pasti, kini keduanya sudah memastikan kalau mereka memiliki perasaan yang sama. Mekipun, sampai senja hari ini berlalu, dan sampai hari perpisahan sementara itu tiba, keduanya masih berstatus sebagai sahabat baik.

\^o^/

Rindu membuat hari demi hari, bulan demi bulan, musim demi musim, dan tahun demi tahun berlalu denga lambat. Baik Kavita maupun Rendra menjalani rindu mereka dengan cara masing-masing. Untuk mengobati rindunya, Kavita menjadi lebih sering mengunjungi dermaga, sedangkan Rendra menjadi lebih sering menerima foto-foto senja dan dermaga dari Kavita. Kavita dan Rendra memang tidak bisa berkomunikasi secara intens. Rendra sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya, begitupun Kavita. Walaupun begitu, dalam satu minggu pasti keduanya mengungkapkan rasa rindu masing-masing, entah itu melalui email, chat, ataupun videocall. Bukan dengan cara yang romantis memang. Kekekekekeke.... Kadang, hanya dengan chat miss you” lalu cukup dibalas dengan “miss you too.” 

Siang itu di perpustakaan kampusnya, Kavita tampak serius memandangi layar handphonenya. Kavita tengah menunggu balasan chat dari Rendra. Sebenarnya, sudah sejak tadi malam Kavita menunggu balasan dari Rendra. Chatnya memang sudah dibaca, tapi mungkin belum ada balasan dari Rendra. Beberapa bulan terakhir ini, Rendra memang jarang memberi kabar. 

“Kavita! Bengong aja,” kedatangan Dhea cukup mengagetkan Kavita. “Ih, pasti baru nungguin kabar dari si Rendra Rendra yang ngga jelas itu.”

“Dhea, Rendra itu....”

“Apa-apa? Mau bilang apa lagi Vit?”

“Em... ngga ada,” jawab Kavita singkat.

“Tumben, nyerah gitu. Tapi Vit, kamu yakin ngga mau move on? Kamu tahu Kak Putra kan? Kayaknya, Kak Putra ada rasa sama kamu.”

“Rasa manis, asem, asin, pahit, coklat, strawberry, vanilla, apa lagi?” Kavita memang tidak pernah serius kalau membicarakan soal cinta, kecuali tentang Rendra.

“Kavita... kamu bisa serius sekali aja ngga?” kata Dhea dengan wajah yang mulai memerah.

Kavita hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan sahabatnya itu. Dhea memang belum pernah bertemu Rendra sebelumnya. Sementara itu, Kavita juga belum banyak menceritakan tentang sosok Rendra pada Dhea. 

“Oiya Vit, nanti malam kita ke toko buku yuk! Ada banyak koleksi baru di Gramed.”

“Kalau besok, habis dari kampus aja gimana Dhe? Hari ini...,” Kavita menghentikan kalimatnya saat melihat Dhea yang hanya mengangguk-angguk, yang entah apa tandanya.

“Hari ini, kamu pasti mau ke dermaga lagi kan? Iya deh, kalau udah soal dermaga, Dhea angkat tangan. Tapi besok janji ya!” rupanya Dhea sudah tahu pasti ke mana tujuan Kavita sore nanti.

“Iya, janji,” kini giliran Kavita yang mengagguk mantap.

\^o^/

Sore itu, Kavita memang mengunjungi dermaganya lagi. Lagi-lagi, Kavita duduk sendiri di sana. Senja yang nyaman itu hanya bisa dinikmatinya seorang diri. Sesekali, Kavita melihat handphonenya lagi. Namun, masih belum ada kabar dari Rendra. Keraguan mulai hinggap di hatinya. Sudah dua tahun, tujuh bulan ini Kavita dan Rendra terpisah. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, bukan waktu yang sebentar untuk merubah hati. Mungkin, Kavita sekarang sedang berada di puncak kerinduannya, atau mungkin  keraguannya.

“Kamu pasti pulang kan Ren?” tanya Kavita dalam hatinya. Sepanjang matanya memandang, Kavita hanya melihat air sungai yang semakin berkilau. Kavita benar-benar berharap bisa melihat senja itu bersama Rendra. 

Tak lama setelah Kavita melihat satu bintang yang mulai bersinar, mengiringi matahari yang mulai terbenam, Kavita kembali mendengar langkah kaki seseorang. Langkah kaki yang sama, langkah kaki yang dirindukan Kavita. Belum sampai langkah kaki itu berhenti, Kavita bangkit dari tempat duduknya. Perlahan, Kavita dapat melihat dengan jelas siapa sosok itu. Sosok yang sekarang terlihat jauh lebih dewasa dari beberapa tahun yang lalu. 

“Hai, Kavita!” sapa Rendra dengan senyumannya yang khas.

Kavita masih belum menjawab sapaan Rendra itu. Kavita ingin menatap lebih dalam sosok Rendra yang sekarang ada di hadapannya. Tanpa terasa, cairan bening  menetes di pipi Kavita. Menyadari air matanya mulai menetes, buru-buru Kavita menghapusnya. Kini, Rendra sudah berdiri tepat di hadapan Kavita. Cukup lama mereka saling memandang, mungkin ingin melepaskan kerinduan mereka. 

“Lain kali, izinin aku yang hapus air mata kamu,” begitulah Rendra yang mulai membuka kehangatan suasana senja itu. “Kangen juga duduk di sana,” Rendra memilih duduk di tempat Kavita tadi. “Kamu ngga mau duduk di sini?”

Mendengar pertanyaan Rendra itu, Kavita pun mengikuti Rendra yang duduk di tepi dermaga. Cukup lama mereka saling diam. Tidak ada percakapan sama sekali. 

“Maaf ya,” kembali Rendra yang memulai percakapan.

“Maaf untuk apa?” tanya Kavita.

“Untuk tidak memberi kamu kabar.”

“Kenapa?” tanya Kavita lagi.

“Sebenernya, aku mau ngasih kamu kejutan. Tapi sepertinya gagal. Kamu malah nangis tadi.”

“Aku ngga nangis,” Kavita pun mengelak.

“Hmmm, diiyain aja deh biar cepet. Oke Ren, tadi Kavita ngga nangis, cuma mewek kan?”
Dan, kata-kata Rendra tadi sukses membuat Kavita manyun. 

“Kamu masih kangen aku Vit?” kembali Rendra yang memberikan pertanyaan.

“Masih,” jawab Kavita jujur. Soal perasaan, Kavita selalu berusaha untuk jujur.

“Oooh,” jawab Rendra singkat. Rendra pun merebahkan tubuhnya ke belakang. “Besok aku mau ketemu sama mama papa kamu.”

“Mau ngapain?” tanya Kavita serius.

“Mau ngobrolin soal hubungan kita.”

“Hubungan apa?”

Mendengar pertanyaan Kavita itu, Rendra harus kembali bangun. “Jadi, beneran aku harus ngulangin lagi.” Rendra menghela nafas cukup panjang, “Oke. Sekarang aku serius. Aku, sayang kamu, Kavita. Dari dulu sampai sekarang, sampai nanti juga boleh. Rendra sayang Kavita,” saat itu tatapan mata Rendra hanya untuk Kavita seutuhnya.

Kavita tersenyum manis, sangat manis, mendengar ungkapan perasaan Rendra itu. “Kavita, juga sayang Rendra,” akhirnya keduanya menemukan cara yang paling tepat untuk mengungkapkan kerinduan masing-masing.

Senja di dermaga sore itu kembali menjadi saksi perjalanan cinta Kavita dan Rendra. Cinta memang selalu membutuhkan kepastian dari kedua belah hati yang terlibat. Kavita dan Rendra sama-sama memberikan kepastian tentang perasaan masing-masing. Jadi, penantian Kavita pada Rendra bukanlah penantian yang tanpa kepastian, meskipun tanpa harus ada status sebagai pasangan kekasih. Yang terpenting, keduanya sama-sama bersedia untuk saling menunggu. Sampai takdir, mempertemukan kembali Kavita dan Rendra pada suasana senja di dermaga sama, dengan rasa cinta yang mungkin jauh lebih dewasa.

\^o^/

No comments:

Post a Comment