(credit pict: https://www.stockvault.net)
Suara
langkah kaki yang perlahan mendekatinya, membuyarkan lamunan Kavita. Namun,
pandangannya masih tertuju pada langit senja yang semakin indah. Kini,
seseorang itu sudah berdiri tepat di belakang Kavita.
“Besok
lusa, aku harus pergi,” kalimat inilah yang pertama kali menyapa Kavita senja
itu.
Kavita
hanya tersenyum pahit mendengar kalimat itu keluar dari bibir Rendra.
“Kamu
sedih?” tanya Rendra yang kini duduk di samping Kavita.
“Iya,”
jawab Kavita singkat.
“Kamu
ngga bisa ya, basa-basi sedikit. Bilang aja ‘Aku ngga sedih kok. Ini kan buat
masa depan kamu. Aku pasti dukung kamu.’ Sekali-kali pakai kalimat yang manis
dong,” keluh Rendra.
Kavita
hanya tersenyum melihat wajah kesal Rendra. Wajah yang nantinya akan sangat
dirindukan Kavita. Kavita ingin menyampaikan banyak hal pada Rendra saat itu.
Namun, kenyataan harus berpisah dengan Rendra untuk waktu yang tidak sebentar
membuat Kavita mengurungkan niatnya itu. Lusa nanti, Rendra harus berangkat ke London
untuk melanjutkan studinya di sana.
“Aku
pasti kangen kamu,” hanya kalimat itu yang bisa merangkum perasaan Kavita saat
ini. Sebenarnya, Kavita ingin sekali mengatakan kalau Kavita akan selalu
mendukung dan mendoakan Rendra, tapi bibir Kavita terasa kelu untuk
menyampaikan semua itu. Kavita tidak mungkin egois melarang Rendra mengejar
mimpi-mimpinya. Tapi, Kavita juga tidak bisa membohongi perih hatinya saat
harus jauh dari Rendra. Belum juga berpisah dengan Rendra, Kavita sudah mulai
merasakan sesaknya rindu.
“Aku
juga. Rasa kangen aku, kadarnya pasti lebih tinggi,” kata Rendra dengan
ekpresinya yang begitu adanya. “Pokoknya, kamu harus tunggu aku, sampai nanti
waktunya aku pulang ke sini.”
“Kenapa?”
tanya Kavita.
“Apa
pertanyaan kamu itu harus aku jawab sekarang?” tiba-tiba Rendra mengubah nada
bicaranya menjadi lebih serius.
Kavita
hanya mengangguk pelan.
“Jawabannya
cuma satu, karena... aku sayang kamu,” kalimat Rendra ini, mempertemukan
kembali pandangan keduanya. “Rendra, sayang Kavita,” Rendra menegaskan
perasaannya pada Kavita.
“Apa?”
tanya Kavita sedikit ragu dengan apa yang didengarnya.
“Aku
ngga mau mengulangi kalimat tadi. Kamu tahu kan, gimana susahnya ngomong
perasaan aku ke kamu tadi. Terus, kamu cuma bilang ‘apa’.”
“Tapi...,”
Kavita belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
“Kalau
kamu mau aku mengulangi kalimat tadi, berarti kamu harus mau nunggu aku, dua setengah
tahun lagi, di senja, dan di dermaga ini.”
Kavita
pun tersenyum manis mendengar janji Rendra itu, “Aku pasti nunggu kamu.”
Begitulah,
senja di dermaga itu menjadi saksi janji Rendra pada Kavita. Kavita dan Rendra
sudah berahabat sejak mereka kecil, dan kini mereka harus berpisah “sebentar”. Entah
sejak kapan perasaan yang bernama cinta itu mulai tumbuh di hati keduanya. Yang
pasti, kini keduanya sudah memastikan kalau mereka memiliki perasaan yang sama.
Mekipun, sampai senja hari ini berlalu, dan sampai hari perpisahan sementara
itu tiba, keduanya masih berstatus sebagai sahabat baik.
\^o^/
Rindu
membuat hari demi hari, bulan demi bulan, musim demi musim, dan tahun demi
tahun berlalu denga lambat. Baik Kavita maupun Rendra menjalani rindu mereka
dengan cara masing-masing. Untuk mengobati rindunya, Kavita menjadi lebih
sering mengunjungi dermaga, sedangkan Rendra menjadi lebih sering menerima
foto-foto senja dan dermaga dari Kavita. Kavita dan Rendra memang tidak bisa
berkomunikasi secara intens. Rendra sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya,
begitupun Kavita. Walaupun begitu, dalam satu minggu pasti keduanya
mengungkapkan rasa rindu masing-masing, entah itu melalui email, chat, ataupun videocall. Bukan dengan cara yang romantis memang. Kekekekekeke....
Kadang, hanya dengan chat “miss you” lalu cukup dibalas dengan “miss you too.”
Siang
itu di perpustakaan kampusnya, Kavita tampak serius memandangi layar handphonenya. Kavita tengah menunggu
balasan chat dari Rendra. Sebenarnya,
sudah sejak tadi malam Kavita menunggu balasan dari Rendra. Chatnya memang sudah dibaca, tapi
mungkin belum ada balasan dari Rendra. Beberapa bulan terakhir ini, Rendra
memang jarang memberi kabar.
“Kavita!
Bengong aja,” kedatangan Dhea cukup mengagetkan Kavita. “Ih, pasti baru
nungguin kabar dari si Rendra Rendra yang ngga jelas itu.”
“Dhea,
Rendra itu....”
“Apa-apa?
Mau bilang apa lagi Vit?”
“Em...
ngga ada,” jawab Kavita singkat.
“Tumben,
nyerah gitu. Tapi Vit, kamu yakin ngga mau move
on? Kamu tahu Kak Putra kan? Kayaknya, Kak Putra ada rasa sama kamu.”
“Rasa
manis, asem, asin, pahit, coklat, strawberry, vanilla, apa lagi?” Kavita memang
tidak pernah serius kalau membicarakan soal cinta, kecuali tentang Rendra.
“Kavita...
kamu bisa serius sekali aja ngga?” kata Dhea dengan wajah yang mulai memerah.
Kavita
hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan sahabatnya itu. Dhea memang belum
pernah bertemu Rendra sebelumnya. Sementara itu, Kavita juga belum banyak
menceritakan tentang sosok Rendra pada Dhea.
“Oiya
Vit, nanti malam kita ke toko buku yuk! Ada banyak koleksi baru di Gramed.”
“Kalau
besok, habis dari kampus aja gimana Dhe? Hari ini...,” Kavita menghentikan
kalimatnya saat melihat Dhea yang hanya mengangguk-angguk, yang entah apa
tandanya.
“Hari
ini, kamu pasti mau ke dermaga lagi kan? Iya deh, kalau udah soal dermaga, Dhea
angkat tangan. Tapi besok janji ya!” rupanya Dhea sudah tahu pasti ke mana
tujuan Kavita sore nanti.
“Iya,
janji,” kini giliran Kavita yang mengagguk mantap.
\^o^/
Sore
itu, Kavita memang mengunjungi dermaganya lagi. Lagi-lagi, Kavita duduk sendiri
di sana. Senja yang nyaman itu hanya bisa dinikmatinya seorang diri. Sesekali,
Kavita melihat handphonenya lagi.
Namun, masih belum ada kabar dari Rendra. Keraguan mulai hinggap di hatinya.
Sudah dua tahun, tujuh bulan ini Kavita dan Rendra terpisah. Dua tahun bukan
waktu yang sebentar untuk menunggu, bukan waktu yang sebentar untuk merubah
hati. Mungkin, Kavita sekarang sedang berada di puncak kerinduannya, atau
mungkin keraguannya.
“Kamu
pasti pulang kan Ren?” tanya Kavita dalam hatinya. Sepanjang matanya memandang,
Kavita hanya melihat air sungai yang semakin berkilau. Kavita benar-benar
berharap bisa melihat senja itu bersama Rendra.
Tak
lama setelah Kavita melihat satu bintang yang mulai bersinar, mengiringi
matahari yang mulai terbenam, Kavita kembali mendengar langkah kaki seseorang.
Langkah kaki yang sama, langkah kaki yang dirindukan Kavita. Belum sampai
langkah kaki itu berhenti, Kavita bangkit dari tempat duduknya. Perlahan,
Kavita dapat melihat dengan jelas siapa sosok itu. Sosok yang sekarang terlihat
jauh lebih dewasa dari beberapa tahun yang lalu.
“Hai,
Kavita!” sapa Rendra dengan senyumannya yang khas.
Kavita
masih belum menjawab sapaan Rendra itu. Kavita ingin menatap lebih dalam sosok
Rendra yang sekarang ada di hadapannya. Tanpa terasa, cairan bening menetes di pipi Kavita. Menyadari air matanya
mulai menetes, buru-buru Kavita menghapusnya. Kini, Rendra sudah berdiri tepat
di hadapan Kavita. Cukup lama mereka saling memandang, mungkin ingin melepaskan
kerinduan mereka.
“Lain
kali, izinin aku yang hapus air mata kamu,” begitulah Rendra yang mulai membuka
kehangatan suasana senja itu. “Kangen juga duduk di sana,” Rendra memilih duduk
di tempat Kavita tadi. “Kamu ngga mau duduk di sini?”
Mendengar
pertanyaan Rendra itu, Kavita pun mengikuti Rendra yang duduk di tepi dermaga. Cukup
lama mereka saling diam. Tidak ada percakapan sama sekali.
“Maaf
ya,” kembali Rendra yang memulai percakapan.
“Maaf
untuk apa?” tanya Kavita.
“Untuk
tidak memberi kamu kabar.”
“Kenapa?”
tanya Kavita lagi.
“Sebenernya,
aku mau ngasih kamu kejutan. Tapi sepertinya gagal. Kamu malah nangis tadi.”
“Aku
ngga nangis,” Kavita pun mengelak.
“Hmmm,
diiyain aja deh biar cepet. Oke Ren, tadi Kavita ngga nangis, cuma mewek kan?”
Dan,
kata-kata Rendra tadi sukses membuat Kavita manyun.
“Kamu
masih kangen aku Vit?” kembali Rendra yang memberikan pertanyaan.
“Masih,”
jawab Kavita jujur. Soal perasaan, Kavita selalu berusaha untuk jujur.
“Oooh,”
jawab Rendra singkat. Rendra pun merebahkan tubuhnya ke belakang. “Besok aku
mau ketemu sama mama papa kamu.”
“Mau
ngapain?” tanya Kavita serius.
“Mau
ngobrolin soal hubungan kita.”
“Hubungan
apa?”
Mendengar
pertanyaan Kavita itu, Rendra harus kembali bangun. “Jadi, beneran aku harus
ngulangin lagi.” Rendra menghela nafas cukup panjang, “Oke. Sekarang aku
serius. Aku, sayang kamu, Kavita. Dari dulu sampai sekarang, sampai nanti juga
boleh. Rendra sayang Kavita,” saat itu tatapan mata Rendra hanya untuk Kavita
seutuhnya.
Kavita
tersenyum manis, sangat manis, mendengar ungkapan perasaan Rendra itu. “Kavita,
juga sayang Rendra,” akhirnya keduanya menemukan cara yang paling tepat untuk
mengungkapkan kerinduan masing-masing.
Senja
di dermaga sore itu kembali menjadi saksi perjalanan cinta Kavita dan Rendra.
Cinta memang selalu membutuhkan kepastian dari kedua belah hati yang terlibat.
Kavita dan Rendra sama-sama memberikan kepastian tentang perasaan
masing-masing. Jadi, penantian Kavita pada Rendra bukanlah penantian yang tanpa
kepastian, meskipun tanpa harus ada status sebagai pasangan kekasih. Yang
terpenting, keduanya sama-sama bersedia untuk saling menunggu. Sampai takdir, mempertemukan
kembali Kavita dan Rendra pada suasana senja di dermaga sama, dengan rasa cinta
yang mungkin jauh lebih dewasa.
\^o^/
No comments:
Post a Comment