Terkadang, ketika
kita berada di antara dua, tiga, empat, atau banyak pilihan, waktulah yang akan
membantu kita untuk menentukan pilihan dengan caranya sendiri. Pilihan yang seringkali
bukan pilihan yang kita harapkan, tapi pilihan yang terbaik. Bukan hanya
terbaik untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain.
Menjalani pilihan
yang sebenarnya bukan pilihan kita sendiri, rasanya pasti berat, sangat berat. Ibaratnya,
kita diharuskan menjalani kehidupan dengan seseorang yang dari awal sudah
membuat kita tidak merasa nyaman. Pada masa-masa awal kita menjalani pilihan
itu, hari-hari akan terasa jauh lebih lambat berjalan, lelah yang tak seberapa
menjelma menjadi lelah yang merubah hari kita menjadi tak berwarna. Saat-saat
seperti itu, mengeluh, mengeluh, dan mengeluh menjadi rutinitas yang tak pernah
absen. Rasa malas menjadi teman yang setia menemani hari-hari kita.
Apa yang membuat
semuanya terasa lebih berat? Karena kita sudah punya cikal bakal rasa tidak
suka atau tidak nyaman. Atau mungkin karena kita beranggapan kalau kita memilih
pilihan kita yang sebenarnya, kita pasti akan lebih bahagia, lebih berhasil,
lebih sukses, daripada ketika kita menjalani pilihan karena unsur paksaan ini.
Siapa yang
memaksa? Waktu dan keadaan, dengan caranya sendiri menempatkan kita pada posisi
yang mengharuskan kita untuk memilih pilihan yang ‘ini’ atau yang ‘itu’. Kita
memang mungkin memiliki daya untuk menolak pilihan itu. Namun, entah karena
satu atau beberapa pertimbangan kita merasa berat untuk ‘mengaktifkan’ daya
itu. Kita pun hanya bisa menerima keadaan, menerima pilihan yang dipilihkan
sang waktu untuk kita. Sampai akhirnya, perlahan kita akan mulai memahami kenapa
kita harus memilih pilihan itu.
Apa memilih
pilihan yang sebenarnya bukan merupakan pilihan kita ini salah? Yang salah
bukan karena kita memutuskan untuk memilih pilihan yang mungkin bukan pilihan
hati kita. Tapi, yang salah adalah ketika kita tidak bisa bertanggung jawab
dengan pilihan yang telah kita buat.
Kenapa kita harus
menerima pilihan itu kalau nantinya kita tidak bisa bahagia? Bahagia itu bukan
hanya takdir, tapi pilihan, pilihan kita untuk memilih bahagia. Terkadang waktu
memang membantu kita untuk membuat pilihan, mengambil keputusan. Ketika pilihan
itu bukan yang kita harapkan, kita memang akan kesulitan menemukan bahagia
kita.
Lalu, haruskah
kita menyerah dan menyesal begitu saja? Ketika memang bahagia itu tak bisa kita
temukan, sudah saatnya kita menciptakan bahagia kita sendiri. Menjalani semua
dengan ikhlas dan memberikan yang terbaik dari yang kita punya.
Apakah ini mudah?
Tentu saja tidak, justru sangat sulit. Tapi, itulah tantangan untuk menciptakan
bahagia kita. Lebih tepatnya, bahagia kita dan orang-orang yang kita sayang.
Kalaupun kita
memilih suatu pilihan karena waktu ataupun keadaan, memang untuk saat ini,
pilihan itulah yang terbaik. Suatu saat nanti, ketika kita mendapat kesempatan
lain untuk memilih dan menjalani pilihan kita sesungguhnya, pengalaman kita bersama
‘pilihan yang awalnya tidak kita harapkan’ ini akan membuat kita lebih siap,
lebih kuat, dan lebih dewasa. Terkadang, waktu mengajari kita untuk memilih
dengan dewasa. Kenapa? Karena kita harus ‘dipaksa’ untuk tidak egois dalam
menentukan pilihan, karena memang sudah saatnya kita belajar untuk dewasa.
\^o^/
No comments:
Post a Comment