Tuesday, January 2, 2018

Cerita Tentang Waktu dan Pilihan


Terkadang, ketika kita berada di antara dua, tiga, empat, atau banyak pilihan, waktulah yang akan membantu kita untuk menentukan pilihan dengan caranya sendiri. Pilihan yang seringkali bukan pilihan yang kita harapkan, tapi pilihan yang terbaik. Bukan hanya terbaik untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk orang lain. 

Menjalani pilihan yang sebenarnya bukan pilihan kita sendiri, rasanya pasti berat, sangat berat. Ibaratnya, kita diharuskan menjalani kehidupan dengan seseorang yang dari awal sudah membuat kita tidak merasa nyaman. Pada masa-masa awal kita menjalani pilihan itu, hari-hari akan terasa jauh lebih lambat berjalan, lelah yang tak seberapa menjelma menjadi lelah yang merubah hari kita menjadi tak berwarna. Saat-saat seperti itu, mengeluh, mengeluh, dan mengeluh menjadi rutinitas yang tak pernah absen. Rasa malas menjadi teman yang setia menemani hari-hari kita. 

Apa yang membuat semuanya terasa lebih berat? Karena kita sudah punya cikal bakal rasa tidak suka atau tidak nyaman. Atau mungkin karena kita beranggapan kalau kita memilih pilihan kita yang sebenarnya, kita pasti akan lebih bahagia, lebih berhasil, lebih sukses, daripada ketika kita menjalani pilihan karena unsur paksaan ini. 

Siapa yang memaksa? Waktu dan keadaan, dengan caranya sendiri menempatkan kita pada posisi yang mengharuskan kita untuk memilih pilihan yang ‘ini’ atau yang ‘itu’. Kita memang mungkin memiliki daya untuk menolak pilihan itu. Namun, entah karena satu atau beberapa pertimbangan kita merasa berat untuk ‘mengaktifkan’ daya itu. Kita pun hanya bisa menerima keadaan, menerima pilihan yang dipilihkan sang waktu untuk kita. Sampai akhirnya, perlahan kita akan mulai memahami kenapa kita harus memilih pilihan itu.

Apa memilih pilihan yang sebenarnya bukan merupakan pilihan kita ini salah? Yang salah bukan karena kita memutuskan untuk memilih pilihan yang mungkin bukan pilihan hati kita. Tapi, yang salah adalah ketika kita tidak bisa bertanggung jawab dengan pilihan yang telah kita buat.

Kenapa kita harus menerima pilihan itu kalau nantinya kita tidak bisa bahagia? Bahagia itu bukan hanya takdir, tapi pilihan, pilihan kita untuk memilih bahagia. Terkadang waktu memang membantu kita untuk membuat pilihan, mengambil keputusan. Ketika pilihan itu bukan yang kita harapkan, kita memang akan kesulitan menemukan bahagia kita. 

Lalu, haruskah kita menyerah dan menyesal begitu saja? Ketika memang bahagia itu tak bisa kita temukan, sudah saatnya kita menciptakan bahagia kita sendiri. Menjalani semua dengan ikhlas dan memberikan yang terbaik dari yang kita punya.

Apakah ini mudah? Tentu saja tidak, justru sangat sulit. Tapi, itulah tantangan untuk menciptakan bahagia kita. Lebih tepatnya, bahagia kita dan orang-orang yang kita sayang.

Kalaupun kita memilih suatu pilihan karena waktu ataupun keadaan, memang untuk saat ini, pilihan itulah yang terbaik. Suatu saat nanti, ketika kita mendapat kesempatan lain untuk memilih dan menjalani pilihan kita sesungguhnya, pengalaman kita bersama ‘pilihan yang awalnya tidak kita harapkan’ ini akan membuat kita lebih siap, lebih kuat, dan lebih dewasa. Terkadang, waktu mengajari kita untuk memilih dengan dewasa. Kenapa? Karena kita harus ‘dipaksa’ untuk tidak egois dalam menentukan pilihan, karena memang sudah saatnya kita belajar untuk dewasa.

\^o^/

No comments:

Post a Comment